Sejarah Pembaharuan Pemikiran dan Pembaharuan Rasyid Ridha
SEJARAH
PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN RASYID RIDHA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Islam mulai menurun di penghujung abad XVII
Masehi. Titik awal penurunan itu dimulai dari kekalahan-kekalahan yang diderita
oleh angkatan perang Turki dalam pertempuran-pertempuran dengan
kekuatan-kekuatan bangsa Eropa. Mesir sebagai salah satu daerah kekuasaan Turki
tidak terlepas dari gangguan bangsa Eropa. Tahun 1798 M, Mesir yang merupakan
pusat kebudayaan Islam terbesar saat itu jatuh ketangan Perancis.[1]
Salah satu faktor penyebab
kekalahan dan kemunduran Islam pada masa itu, dikarenakan terlenanya umat Islam
akan kejayaan Islam pada masa lalu dan banyaknya umat Islam yang disibukkan
dengan masalah-masalah agama tanpa ingin mempelajari dan ingin membahas lebih
dalam masalah pendidikan. Inilah yang menyebabkan tertutupnya pintu
Ijtihad, dikarenakan umat Islam banyak yang bersifat taqlik dan banyaknya
perselisihan antar mazhab. Tidak hanya itu, banyak para pemimpin yang tidak
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya karena para pemimpin banyak yang
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kesenangan pribadinya.
Dari berbagai masalah-masalah yang terjadi,
pemuka Islam mulai memikirkan cara untuk mengatasi hal tersebut. Dengan cara
menimbulkan ide-ide yang dapat membawa pembaharuan dikalangan umat Islam. Salah
satu pemuka Islam yang resah terhadap kemunduran Islam pada masa itu adalah
Rasyid Ridha. Rasyid Ridha ingin mengadakan pembaharuan disegala bidang. Rasyid
Ridha melihat umat Islam banyak mengikuti peradaban Barat dan banyak
meninggalkan nilai-nilai keIslaman serta banyak umat Islam yang terpecah belah oleh
perebutan kekuasaan.
B. Fokus Kajian
Berdasarkan latarbelakang masalah yang telah
penulis paparkan, maka yang menjadi fokus kajian dalam makalah ini adalah:
1. Apa ide
pemikiran dan pembaharuan Rasyid Ridha dalam aspek pendidikan, agama, hukum dan
politik?
2.
Apa kontribusi
yang diberikan oleh Rasyid Ridha bagi umat Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup
Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha
dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan Tarablus Syam pada tahun
1282-1354 H/1865-1935 M. Dia adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad
Syamsuddin Ibn Muhammad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah. Keluarganya
dari keturunan yang terhormat berhijrah dari Baghdad dan menetap di Qalmun.
Kelahirannya tepat pada 27 Jumad al-Tsanil tahun 1282 H/ 18 Oktober
tahun 1865 M.[2]
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad
Syama Al bin al-Kalamuny, dilahirkan ditengah-tengah sebuah keluarga yang
memiliki sedikit kedudukan dengan tradisi pendidikan dan kesalehan, pada tahun
1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota
Tripoli (Suria).
Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah
tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca
al-Qur’an. Di tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wathaniyah
al-Islamiyah (sekolah Nasional Islam) milik Syaikh Husain al-Jisr, yang
terletak di Tripoli.
Setelah menebarkan kiprah dirinya dalam
banyak bidang, pada bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya dari Suez setelah
mengantarkan Pangeran Su’ud, ia meninggal dunia dan meninggalkan banyak ide-ide
pembaruan, yang cukup memberikan pengaruh terhadap generasi selanjutnya.
2.2 Pendidikan dan Karya Tulis Rasyid Ridha
Pendidikannya diawali dengan membaca al-Qur’an,
menulis dan berhitung di kampungnya, Qalamun, Suriah. Berbeda dengan anak-anak
seusianya, Muhammad Rasyid Ridha lebih senang menghabiskan waktunya untuk
belajar dan membaca buku daripada bermain. Sejak kecil ia telah memiliki
kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.[3]
Setelah lancar membaca dan menulis, Muhammad Rasyid Ridha masuk ke Madrasah
ar-Rasyidiyah, yaitu sekolah milik pemerintah di kota Tripoli. Di sekolah itu
ia belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, ilmu bahasa, seperti nahu dan saraf (ilmu
tata bahasa Arab), dan ilmu-ilmu agama, seperti akidah dan ibadah. Hanya
setahun ia belajar di sini, karena ternyata sekolah itu khusus diperuntukkan
bagi mereka yang ingin menjadi pegawai pemerintah, sedangkan ia tidak berminat
mengabdi untuk pemerintah.
Ketika berumur 18 tahun,
ia kembali melanjutkan studinya dan sekolah yang dipilihnya adalah Madrasah
al-Wataniyyah al-Islamiyyah[4] yang didirikan Syekh Husain al-Jisr. Dibandingkan
dengan Madrasah ar-Rasyidiyah, madrasah ini jauh lebih maju, baik dalam
sistem pengajaran maupun materi yang diajarkan. Di sini ia belajar mantik,
matematika, dan filsafat, di samping juga ilmu-ilmu agama. Gurunya, Syekh
Husain al-Jisr, dikenal sebagai seorang yang banyak berjasa dalam menumbuhkan
semangat ilmiah dan ide pembaharuan dalam diri Rasyid Ridha kelak. Di antara
pikiran-pikiran gurunya yang sangat mempengaruhi ide pembaharuan Rasyid
Ridha adalah bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk
mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan
menggunakan metode Eropa. Syekh Husain al-Jisr berpendapat demikian
karena sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa dan Amerika di Suriah saat
itu banyak diminati anak-anak pribumi. Keadaan ini justru mengkhawatirkan
al-Jisr karena di sekolah-sekolah itu tidak disajikan materi pelajaran agama.[5]
Pada usia dua puluh delapan tahun, tepatnya
tahun 1310 H/ 1892, terjadi revolusi besar dalam pemikirannya yang mengubah
secara drastis pemahamannya terhadap Islam. Ini bermula ketika Rasyid
Ridha menemukan beberapa edisi koran al-‘Urwatul Wutsq, yang concern
dalam upaya mengobarkan spirit modernisasi pemikiran serta revivalisasi
peradaban umat Islam yang tengah tiarap. Koran yang merupakan corong pemikiran
Jamaluddin al-Afghani (1254 H/ 1839—1314 H/1897) dan Muhammad Abduh (1266 H/
1848-1323 H/1905) ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Rasyid Ridha di
sela-sela koleksi buku ayahnya.
Tulisan-tulisan kedua
tokoh ini membuatnya tersadar bahwa Islam tidak hanya agama rohani yang
berkutat pada dimensi batin manusia, namun merupakan agama yang menyeimbangkan
antara aspek duniawi dan ukhrawi, rasional dan sangat concern pada
pengembangan peradaban umatnya. Islam juga merupakan agama yang diturunkan
untuk membawa kesejahteraan dalam kehidupan duniawi manusia serta
mempersiapkannya menjadi khalifah Allah swt. yang bertanggung jawab mewujudkan
kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.[6]
Rida merupakan penulis yang prolifik, yang
telah menghasilkan karya-karya besar dalam pemikiran tafsir, hadith, politik,
dakwah, kalam, perbandingan agama, fiqh dan fatwa. Antara tulisannya
termasuklahTarikh Al-Ustadh Al-Imam Al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Biografi
Imam Muhammad Abduh), Nida’ li Jins al-Latif (Panggilan
terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammadi (Wahyu Nabi
Muhammad), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tashri‘ Al-‘Am (Kemudahan
Islam dan Prinsip-prinsip Umum dalam Syari’at), Al-Khilafah wa
Al-Imamah Al-‘Uzma (Khalifah dan Imam-Imam yang Besar), Muhawarah
Al-Muslih wa Al-Muqallid(Dialog Antara Kaum Pembaharu dan
Konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Memperingati
Hari Kelahiran Nabi Muhammad), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (Hak-hak
Wanita Muslim).[7]
Adapun kontribusi monumental Rasyid Ridha
berikutnya adalah tafsir al-Manar. Tafsir dengan nama asli Tafsir al-Qur’an
al-Hakim ini merupakan karya magnum opus Sang Mujaddid yang
merefleksikan pandangan-pandangan progresifnya dalam memahami Kitabullah yang
tentunya menjadi sandaran utama menuju revivalisasi umat. Ide-ide
modernisasi dan reformasi serta karakteristik dan model kebangkitan umat yang
ingin diwujudkan Sang Tokoh akan dapat diamati dengan jelas di sela-sela
interaksinya dengan ayat-ayat Kitab Suci ini.
Tafsir yang terdiri dari beberapa jilid tebal
ini memang tidak lengkap tiga puluh juz. Ia baru sempat diselesaikan Rasyid
Ridha sampai kira-kira sepertiga bagian dari juz ketiga belas, tepatnya
pada ayat 101 surah Yusuf, karena ajal telah terlebih dulu menjemputnya.
Penafsiran surat ini selanjutnya dituntaskan oleh Syeikh Bahjat al-Baithar dan
kemudian diterbitkan dengan tetap memakai nama Rasyid Ridha.[8]
Al-Manar, adalah
majalah bulanan yang membahaskan idealisme pembaharuan dan tajdid di
Kaherah. Ia mengungkapkan tradisi pemikiran yang segar yang diasaskan daripada
ide-ide pembaharuan yang dipelopori oleh Jamal al-din al-Afghani dan Muhammad
Abduh dalam al-‘Urwa al-Wuthqa. Fokusnya adalah usaha pembaharuan
dan dakwah.
Sementara
akhbar lain membicarakan kebobrokan dan kegawatan di dunia Islam, Al-Manar mencadangkan
penyelesaiannya yang umum, dan memberikan formula yang mendetil. Pengaruh al-Manar yang
signifikan ini diungkapkan oleh Shaykh Husayn al-Jisr ketika mengulas tentang
keluaran pertama al-Manar dan ketahanan gerakan islah yang
dibawa oleh Ridha: “Al-Manar telah muncul, menyerlah dengan cahaya yang luar
biasa dan menyenangkan, hanyasanya cahaya ini telah dipantul oleh sinar yang
kuat yang hampir mencederakan pandangan.”
Al-Manar menggerakkan
perbincangan tentang dakwah, idealisme dan islah, menerangkan dasar-dasar
Pan-Islamisme, meneroka persoalan-persoalan yang berkait dengan ajaran aqidah
dan hukum, membincangkan faham modernisme, sekularisme, nasionalisme dan
mempelopori dialog dan pertukaran ide antara budaya, dan meneropong pemikiran
baru berkait dengan falsafah agama dan budaya dan menangani isu-isu sosial dan
peradaban.
Al-Manar pertama
kali diterbitkan pada 21 Shawal 1315 H (17 Mac 1898) sebagai jurnal mingguan
yang memuatkan lapan halaman, menyiarkan telegram-telegram mingguan dan
berita-berita mutakhir, di samping artikel-artikel utama yang ditulis oleh
ketua editor iaitu Ridha sendiri. Bermula pada tahun kedua, ia dikeluarkan
setiap bulan, dan tersebar dengan meluas ke seluruh jajahan Islam dalam wilayah
Turki, India, Mesir, Syria, Maghribi dan turut diseludup ke arkipelago Melayu
dan Tanah Jawa. Pada tahun kedua belas keluarannya (1909), salinan-salinan yang
berbaki daripada keluaran pertama telah dijual empat kali ganda daripada
harganya yang asal.
Dalam mukaddimah
ringkasnya memperkenalkan al-Manar, Ridha menulis: “Demikian ini
adalah suara yang menyeru dengan lidah Arab yang jelas, dan seruan kepada
kebenaran yang sampai ke telinga mereka yang bercakap dengan huruf dad
[masyarakat Arab] dan ke telinga seluruh penduduk Timur, memanggil dari tempat
yang dekat [Mesir] dari mana kedua-dua bangsa di Timur dan Barat dapat
mendengar, dan ia menyebar luas supaya dengan itu penduduk Turki dan Parsi juga
dapat menerimanya. Ia menyeru: “Wahai, bangsa timur yang sedang
lena dibuai mimpi yang enak, bangun, bangun! Tidurmu telah melampaui batas
rehat.”
Menurut C.C. Berg dalam
kajiannya tentang sejarah Indonesia, gerakan pencerahan yang dicetuskan
oleh al-Manar telah melahirkan kelompok pembaharu yang
mempelopori perjuangan kaum muda di Indonesia: “Al-Manar tidak memberikan
pencerahan kepada masyarakat Mesir sahaja. Ia mencerah
pemikiran masyarakat Arab di dalam dan di luar; umat Islam dari rantau
arkipelago Melayu yang menuntut di Universiti al-Azhar atau di Mekah, dan bekas
pelajar dari Indonesia yang masih memelihara keakraban hubungannya dengan dunia
Islam setelah pulang ke sempadan negaranya di Dar al-Islam…dan kesemua
orang-orang ini kini melihat Islam dalam rangka cahaya yang baru…kalangan yang
telah menyelami dan mempertahan cahaya al-Manar di Mesir, menjadi kelompok
“Manar” kecil untuk lingkungannya, setelah pulang ke Indonesia.”
Menerusi Majallah al-Manar,
Ridha mengusung pemikiran Imam Muhammad Abduh dengan menyediakan ruangan khas,
bermula daripada tahun ketiga keluarannya, untuk menerbitkan siri-siri Komentar
al-Qur’an oleh Abduh yang disampaikannya di Jami‘ al-Azhar,
Kaherah. Ruangan khas ini turut memuatkan fatwa-fatwa Abduh, atau keputusannya
tentang persoalan menyangkut hukum atau agama yang dikemukakan oleh pembaca;
selain seksyen yang memuatkan perkembangan dan ide-ide baru di dunia Islam,
serta ulasan-ulasan buku dan publikasi yang lain.
Ayat-ayat yang dikupas
oleh Imam Muhammad Abduh merangkumi surah-surah pendek yang meliputi
tafsir surat al-‘Asr, tafsir Juz ‘Amma,
tafsirsurah al-Fatihah, tafsir ayat 78-79 dari surah al-Nisa’,
tafsir ayat 52-55 dari surah al-Hajj, dan tafsir ayat 37 dari surah
al-Ahzab yang kemudiannya digazetkan dalam Tafsir al-Manar.
Manhaj yang digariskan
oleh Imam Muhammad Abduh dalam tafsirannya adalah berteraskan metode al-adabi
al-ijtima‘i (sosial dan budaya) yang menekankan hubungan ayat dengan
kondisi sosial dan upaya meraih hidayahnya dan kritikan yang keras terhadap
budaya taqlid yang membengkak dalam masyarakat. Tekanan
yang penting diberikan terhadap tradisi aqliah dan ijtihad,
seperti dinyatakan dalam huraiannya terhadap ayat 38-42 daripada surah ‘Abasa: “Muka (orang-orang yang beriman) pada hari itu
berseri-seri, tertawa, lagi bersuka ria, dan muka (orang-orang yang ingkar)
pada hari itu penuh debu, diliputi oleh kesuraman dan kegelapan. Mereka itulah
orang yang kafir, yang derhaka.”
Imam Muhammad Abduh
mengulas: “Sesiapa yang ketika hidup di dunia berusaha mencari kebenaran
dengan akal fikiran yang dianugerahkan kepadanya tanpa terikat dengan titik
bengek adat, kebiasaan atau pandangan sesiapa kecuali Rasulullah, serta tidak
angkuh dalam menerima kebenaran apabila dihadapkan padanya, akan bergembira di
akhirat kelak, kerana hasil usaha mereka dapat dilihat di hadapan mata.” “Manakala
sesiapa yang ketika hidup di dunia tidak menghargai aqalnya, reda dengan
kejahilan, enggan terima kebenaran, sekalipun telah terbukti jelas kerana
taksub dengan pendapat pimpinannya, malah sedaya upaya mempertahankannya dengan
takwil dan penaka helah yang batil, kelak di akhirat akan mendapati segala
amalan yang disangka akan menguntungkan sebenarnya menjadi punca kecelakaan dan
sengsara, lalu wajah menjadi hitam dan gelap kerana kecewa dan dukacita yang
amat.”
Perjuangan Shaykh Muhammad Rashid Ridha untuk
memimpin perubahan telah memperlihatkan kesan yang dramatik di negara-negara
umat Islam. Peranan jurnal al-Manar dalam mengangkat martabat
dan harakah perjuangan cukup dirasai di seluruh rantau Islam, khasnya di
Nusantara.
Kemantapan fikiran dan
idealisme yang dicetuskan oleh Ridha telah berhasil memperkasa umat dan
melahirkan golongan pembaharu yang meneruskan perjuangannya membanteras taqlid,
membebaskan fikiran daripada kepercayaan jelek, tahyul dan khurafat, dan
memperbaharui tekad ke arah memantapkan solidaritas dan merapatkan perselisihan
mazhab. Peranan kita di bumi kita adalah untuk melanjutkan perjuangan dan
meneruskan iltizam Ridha untuk mengembangkan pengaruh Madrasah Imam Muhammad
Abduh dan menyalakan obor perjuangannya ke seluruh dunia.[9]
2.4 Metode yang digunakan Rasyid Ridha
Ketika majalah al-Urwah
al-Wutsqa sudah mencapai cetakan yang kedelapan belas melalui prakarsa
Rasyid Ridha. Ia mendapatkan misi yang membuat ia harus
berhijrah dari negerinya (Tarablus) ke Mesir untuk menerbitkan majalah al-Manar.
Ia menjadi juru bicara dalam aliran pemikiran yang diusungnya. Al-Manar
dijadikan sarana dalam menyampaikan metode-metode pembaharuan ke seluruh
penjuru negara Muslim. Rasyid Ridha berkeinginan untuk menjadikan al-Manar
sebagai “kawat listrik” yang menyengat dan menggugah umat Islam, sebagaimana
yang ia lakukan dengan penerbitan majalah al-Urwah al-Wutsqa.
Dalam pertemuannya dengan
Muhammad Abduh (6 Sya’ban tahun 1315 H/ 31Desember tahun 1897 M. Ia
telah mempelajari proyek penerbitan majalah al-Manar yang membahas pada
masalah penyakit masyarakat dan kelemahannya beserta penanggulangannya
melalui pendidikan. Ia membeberkan aliran pemikiran yang benar
untuk melawan kejahilan, dan pemikiran yang merusak seperti pemaksaan kehendak
dan khurafat.
Dalam menentukan metode majalah, Muhammad
Abduh meminta pada Rasyid Ridha untuk:
1.
Tidak mengikuti
partai-partai politik
2.
Tidak
mementingkan dalam membela diri dari kritikan
3.
Tidak melayani
orang yang sombong
Setelah dirampungkan seluruh metode yang akan
dijalankannya[10],
maka terbitlah al-Manar pada tanggal 22 Syawal tahun 1315 H/ 17 Maret
tahun 1898 M dalam bentuk koran mingguan. Setahun setelah wafatnya Jamaluddin
al-Afghani. Kemudian al-Manar berubah bentuk menjadi majalah bulanan di
tahun kedua untuk menyampaikan misi al-Urwah al-Wutsqa yang
diprakarsai oleh al-Afghani. Yang menjadi pimpinan redaksinya waktu itu ialah
Muhammad Abduh. Inilah al-Manar[11]
yang kemudian terbit lagi dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Ketika
itu, pemegang tampuk kepimpinan redaksinya adalah Rasyid Ridha.
Keistimewaan yang paling mencolok dari tafsir al-Manar
dibandingkan dengan yang lainnya terletak pada terobosan baru dalam hal
metodologi yang ditempuhnya. Metode yang dapat dikatakan belum ditempuh para mufassir
sebelumnya ini merupakan pengembangan dari yang ditempuh Muhammad Abduh
sebelumnya. Secara umum, metode dimaksud dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Tidak terikat
dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan para mufasir atau ulama sebelumnya.
2.
Menggunakan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami dalam menyingkap makna-makna al-Qur’an, namun
dengan tetap memelihara keindahan struktur kalimat (uslub) dan diiringi
upaya penyingkapan ketelitian redaksi yang dipergunakannya.
3. Menjadikan
al-Qur’an sebagai hakim (penentu) atau dasar (ashl) dalam melahirkan
berbagai ketentuan dalam bidang akidah dan fiqih, dan bukan sebaliknya.
4.
Menghindari
perincian (paparan mendetail) terhadap hal-hal yang sudah dianngap memasuki
wilayah mubhamat (masalah-masalah yang tidak di uraikan secara rinci di
dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi Muhammad saw. Menurutnya, tidak
dijelaskannya hal-hal tersebut secara detil oleh al-Qur’an dan as-Sunnah
menunjukkan bahwa perincian dimaksud tidak penting dan bahkan bisa jadi hanya
akan merintangi target utama yang ingin dicapai, yaitu pemberian petunjuk.
5. Menghindari penggunaan
riwayat-riwayat israiliyat dalam penafsiran, terutama yang berkenaan dengan
kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
6. Banyak menjelaskan
ketentuan-ketentuan Allah swt, (sunnatullah) yang telah digariskan bagi
manusia, khususnya dalam aspek sosial, dan alam semesta serta seruan yang
bertujuan menyadarkan serta mengarahkan kehidupan kaum muslimin kembali kepada
tuntunan Allah swt, yang semestinya. Penulis tafsir ini juga memaparkan berbagai
undang-undang kehidupan sosial dan faktor-faktor kemajuan maupun
kemunduran yang berlaku secara umum terhadap seluruh umat dan bangsa.
7.
Membantah
berbagai keragu-raguan yang ditiupkan para musuh Islam atau serangan-serangan
yang mereka lontarkan terhadap ajaran-ajaran yang dibawa al-Qur’an dan
as-Sunnah.[12]
2.5 Ide-ide Pemikiran Rasyid Ridha
Pada tahun 1898 Rasyid Ridha hijrah ke Kairo
dengan maksud berguru dan bergabung dengan Muhammad Abduh. Langkah pertama yang
dilakukan Rasyid di Mesir adalah mendesak Abduh untuk menerbitkan sebuah
majalah sebagai corong mereka. Menurut Rasyid, hal ini penting karena cara yang
tepat untuk menyembuhkan penyakit umat ialah pendidikan serta menyiarkan
ide-ide yang pantas untuk menentang kebodohan dan pikiran-pikiran yang
mengendap dalam diri umat seperti fatalistik dan khurafat. Abduh
menyetujui saran muridnya itu, kemudian terbitlah sebuah majalah yang diberi
nama al-Manar. Nama yang diusulkan Rasyid dan disetujui Abduh. Dalam
terbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama dengan al-‘Urwah
al-Wusqa, yakni sebagai media pembaharuan dalam bidang agama, sosial,
ekonomi, menghilangkan faham-faham yang menyimpang dari agama Islam,
peningkatan mutu pendidikan, dan membela umat Islam dari kebuasan politik
Barat.[13]
2.5.1 Ide pembaharuan
bidang pendidikan
Erat kaitannya dengan konsep “jihad” yang
dikemukakannya, Rasyid menganjurkan umat Islam memiliki satu kekuatan
untuk menghadapi beratnya tantangan dunia modern. Kekuatan itu hanya dapat
dimiliki jika umat Islam bersedia menerima peradaban Barat. Jalan untuk
memperoleh peradaban Barat itu ialah berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi
Barat itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berlawanan dengan
Islam,[14]
bahkan umat Islam wajib mempelajari dan menerima ilmu pengetahuan dan teknologi
itu bila mereka ingin maju.[15]
Dalam berbagai tulisannya, Rasyid mendorong
umat Islam untuk menggunakan kekayaannya dalam pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan. Menurut Rasyid, membangun lembaga pendidikan
lebih baik dari membangun masjid. Baginya masjid tidaklah besar nilainya
apabila orang-orang yang shalat di dalamnya hanyalah orang-orang bodoh. Dengan
membangun lembaga pendidikan, kebodohan dapat dihapuskan dan dengan
demikian pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik. Satu-satunya jalan
menuju kemakmuran adalah perluasan pendidikan secara umum.
Di bidang pendidikan ia
mendirikan sekolah sebagai misi Islam dengan nama Madrasah al-dakwah
Wa al-Irsyad di Kairo pada tahun 1912 M. Para alumni madrasah ini
disebarkan keberbagai dunia Islam. Muhammad Rasyid Ridha sebagai penggerak
pembaharuan Islam yang masih condong pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah. Ia
sebagai penyokong aliran Wahabi, karena dalam ajaran aliran tersebut
dikemukakan pengakuan bermazhab salaf yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam
kepada al-Qur’an dan al-Hadis.[16]
2.5.2 Ide pembaharuan
bidang agama
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan umat Islam lemah dan jauh ketinggalan oleh orang Barat, di
antaranya Islam telah kemasukan ajaran-ajaran yang nampaknya Islam, tetapi
sebenarnya bukan. Hal itu menyebabkan umat Islam melaksanakan
ajaran yang tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam sebenarnya.
Menurut Rasyid Ridha, umat
Islam dapat mengejar ketinggalannya dari bangsa Eropa, jika mereka kembali
kepada ajaran Islam sebenarnya sebagaimana telah diajarkan Nabi Muhammad
saw dan dipraktekkan oleh sahabat.[17] Dengan
demikian, Rasyid menganjurkan untuk menggali kembali teks al-Qur’an.
Ijtihad adalah modal awal
demi keberlangsungan syariat Islam yang memenuhi seluruh kebutuhan pembaruan
“karena syariat Islam adalah syariat penutup dari Tuhan, dan hikmah dari semua
itu adalah bahwasanya Allah swt, telah menyempurnakan agama ini dan
menjadikannya agama yang universal antara ruh dan jasad, dan memberikan
kesempatan seluas-luasnya pada umatnya untuk berijtihad yang benar dan dalam
mengambil istinbat. Kedua sisi ini sangat sesuai dengan
kemaslahatan manusia di setiap tempat dan waktu.[18]
2.5.3 Ide pembaharuan
Bidang Politik dan Hukum
Walaupun Rasyid Ridha mengakui kemajuan
peradaban Barat, tetapi dia tidak setuju dengan ide kebangsaan yang dibawa
bangsa Barat. Menurut Rasyid, umat Islam tidak perlu meniru ide kebangsaan
Barat, karena dalam Islam rasa kebangsaan itu dibangun atas dasar
keagamaan.[19]
Sejalan dengan konsepnya ini, Rasyid merindukan pulihnya kesatuan dan persatuan
umat.[20]
Ia mengajak umat Islam untuk bersatu kembali di bawah satu sistem hukum dan
moral.[21]
Untuk melaksanakan hukum harus ada kekuasaan dalam bentuk negara. Negara yang
dianjurkan Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara dibantu
oleh ulama-ulama pembantu. Khalifah hendaklah seorang mujtahid, karena ia
mempunyai kekuatan legislatif. Di bawah kekhalifahan seperti inilah kesatuan
dan kemajuan umat dapat tercapai.[22]
Konsep kekhalifahan yang
diajukan Rasyid sebagai yang termuat dalam buku al-Khalifah, kelihatannya
semata-mata hasil renungan dan pandangannya terhadap sejarah perjalanan
khalifah al-Rasyidin. Dia hanya melihat pada fungsi negara dengan
mengenyampingkan persepsi negara ditinjau dari sudut pertumbuhan penduduk.
Dengan kata lain, Rasyid kurang menghayati dinamika sejarah pemerintahan Islam
pada zaman klasik dan pertengahan. Secara administrasi, sistem kekhalifahan itu
memancing instabilitas dan perebutan kekuasaan karena secara langsung menutup
kreativitas dan aspirasi rakyat. Tampaknya sistem kekhalifahan sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Pendedahan awalnya
terhadap gerakan politik dan islah tercetus setelah terbaca
jurnal al-‘Urwa al-Wuthqa yang diterbitkan pada tahun 1884
(yang dikeluarkan secara berkala selama 8 bulan) di Paris, oleh Jamal al-Din
al-Afghani yang mengungkapkan ide-ide pembaharuan dan mengapungkan faham anti
kolonialisme, pemberdayaan reformasi dan pemacuan ijtihad.
Ridha menjelaskan tentang
idealisme pemikiran yang dizahirkan dalam al-‘Urwa al-Wuthqa dengan
katanya: “Aku menemui salinan al-‘Urwa al-Wuthqa daripada kertas-kertas
dalam simpanan ayah. Setelah aku membaca artikel-artikelnya yang menyeru kepada
gagasan Pan-Islamisme, meraih semula kegemilangan, kekuatan dan keunggulan
Islam, penemuan semula ketinggian dan kedudukan yang pernah dimilikinya, dan
pembebasan umatnya daripada dominasi luar, aku sangat teruja sehingga seperti
memasuki fasa baru dalam hidupku. Dan aku sangat tertarik dengan metodologi
yang diketengahkan dalam artikel-artikel ini dalam melakar dan membuktikan
hujahnya dalam perbahasan dengan bersandarkan ayat-ayat al-Qur’an, dan tentang
tafsirnya yang tiada seorang mufassir telah menulis sepertinya.”
Ridha turut menghuraikan
kekuatan al-‘Urwa al-Wuthqa sebagai hasil pemikiran yang
penting yang menggariskan manhaj perjuangan yang berkesan
dalam menangani kepincangan budaya dan politik dan mengangkat harakat pemikiran
dan menggarap permasalahan umat yang mendasar: “antara poin yang terpenting
yang menzahirkan keunggulan al-‘Urwa al-Wuthqa dan kekuatannya yang tersendiri
adalah: (1) (penekanannya terhadap) ketentuan Allah terhadap makhlukNya dan
sistem aturan dalam masyarakat manusia, dan sebab kebangkitan dan kejatuhan
sesuatu bangsa sepertimana juga kekuatan dan kelemahan mereka; (2) penjelasan
bahawa Islam adalah agama yang mempunyai kedaulatan dan kuasa, yang merangkul
kebahagiaan di dunia dan di akhirat, dan menegaskan bahawa ia adalah agama yang
menggabungkan nilai spirituil dan sosial, sivil dan militer, dan bahawa
kekuatan militernya adalah untuk melindungi keadilan undang-undang, petunjuk
dan wibawa umat, dan bukan untuk mengerahkan kepercayaan dengan paksa; dan (3)
bagi umat Islam tidak ada faham kebangsaan dan nasionalisme kecuali terhadap
agama mereka, oleh itu mereka semuanya bersaudara di mana perbezaan ras dan
darah keturunan tidak harus memisahkan kesatuan mereka, tidak juga
perbezaan bahasa dan kerajaan mereka.”
Semangat yang dipugar
daripada pembacaan al-‘Urwa al-Wuthqa ini terus menggilap
karakter dan mengukuhkan daya perjuangan Ridha, yang mengilhamkannya untuk
berhijrah ke Mesir dan bergabung dengan al-Afghani dan Abduh bagi melanjutkan
perjuangan Pan-Islamisme: “Setelah beliau [al-Afghani]
meninggal, harapanku semakin tinggi untuk menemu wakilnya Shaykh Muhammad Abduh
untuk meraih ilmu dan pandangannya tentang reformasi Islam. Aku menunggu sehingga
terbukanya peluang pada bulan Rajab tahun 1315 (1897) dan itu adalah sebaik
saja aku menamatkan pengajian di Tripoli, memperoleh status ‘alim, dan tauliah
untuk mengajar secara bebas, daripada mentor-ku, Shaikh Husayn al-Jisr. Kemudian itu
aku lansung berhijrah ke Mesir dan melancarkan al-Manar untuk menyeru kepada
pembaharuan.”[23]
2.6 Pengaruh Rasyid
Ridha
Ide pembaharuan Rasyid Ridha mendapat perhatian
dan mempengaruhi dunia Islam. Setelah pembukaan Dar al-Da’wah wa al-Irsyad
di Kairo, Rasyid mendapat undangan dari kalangan tokoh Islam India untuk
membuka lembaga pendidikan semacam itu di India. Hal ini membuktikan bahwa
idenya mendapat perhatian dan mempengaruhi umat Islam India. Ide-idenya yang
terkandung dalam majalah al-Manar kuat sekali mempengaruhi umat Islam
Indonesia.[24]
Idenya yang sangat terasa di Indonesia adalah pemberantasan bid’ah dan
khurafat, serta perumusan kembali keyakinan dan pengamalan Islam disesuaikan
dengan pemikiran dan peradaban modern.
2.7 Wafatnya Rasyid
Ridha
Setelah mendarmabaktikan
hidupnya selama puluhan tahun demi tercerahkannya kaum muslimin, Rasyid Ridha[25] akhirnya wafat pada tahun 1354 H/ 1935, secara mendadak dan dengan
penyebab yang misterius di dalam mobil yang membawanya pulang dari Suez ke
Kairo.[26] Ia dimakamkan
di ibukota Mesir ini bersebelahan dengan makam gurunya, Muhammad Abduh.[27]
BAB III
PENALARAN
3.1 ANALISIS
DAN KRITISI PEMIKIRAN RASYID RIDHA.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dan
ditelaah secara kritis dari pemikiran dan pembaharuan Rasyid Ridha, antara
lain:
Dalam dunia pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat,
untuk mencapai kemajuan dan menghadapi beratnya tantangan dunia modern maka
umat Islam harus memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan
menggunakan metode Eropa serta membangun lembaga pendidikan.
Penulis sependapat dengan ide Rasyid Ridha yang
menganjurkan umat Islam, harus memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum
dengan menggunakan metode Eropa, dikarenakan pada masa itu umat Islam lebih
cenderung membahas masalah-masalah agama dan melupakan pendidikan umum. Itulah
yang menyebabkan umat Islam mundur, karena pendidikan agama pada masa itu
banyak masyarakat yang bersifat taqlik tanpa mau mengkaji lebih dalam tentang
hal tersebut. Umat Islam tidak mau membuka cakrawala berfikir, mereka hanya
sibuk memikirkan masalah Ibadah dan akhirat saja.
Oleh sebab itu, diperlukan
adanya lembaga pendidikan yang mengarahkan umat Islam untuk berfikir kritis dan
mau mempelajari ilmu umum, berupa sains dan teknologi serta ilmu-ilmu lainnya. Rasyid Ridha
memang mengajak umat Islam untuk menggunakan metode Barat tetapi dia juga
memperingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti peradaban Barat beserta ajakan
untuk mempelajari ilmu-ilmu Barat. Dikarenakan peradaban Barat dan ilmu-ilmu
Barat tidak mencerminkan adanya nilai-nilai keIslaman.
Dibidang agama, menurut
Rasyid, umat Islam akan maju apabila meninggalkan segala khurafat dan bid’ah
yang selama ini membelenggunya serta membrantas taqlid, membebaskan fikiran
daripada kepercayaan jelek, tahyul dan memperbaharui tekad ke arah memantapkan
solidaritas dan merapatkan perselisihan mazhab serta kembali kepada ajaran
Islam sebenarnya dengan menggali kembali teks al-Qur’an dan Hadis.
Penulis sependapat, dengan ide Rasyid Ridha
yang menganjurkan umat Islam harus menggali kembali teks al-Qur’an dan Hadis.
Agar menjadikan umat Islam mampu berfikir kritis dan tidak bersifat taqlik dan
mampu untuk menghasilkan para pemikir serta ulama yang berilmu dan mempunyai
wawasan yang luas. Sehingga perselisihan mazhab dapat dihilangkan. Dan mampu
menyebarluaskan metode-metode yang baru dalam penafsiran al-Qur’an,
menyebarluaskan fatwa-fatwa kontemporer dan menetapkan al-Qur’an antara fiqih
kontemporer dan fiqih ahkam. Serta mampu memberikan penerangan kepada umat
tentang perbedaan antara agama dan tradisi.
Dibidang politik, Negara yang dianjurkan Rasyid
Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara dibantu oleh
ulama-ulama pembantu. Khalifah hendaklah seorang mujtahid, karena ia mempunyai
kekuatan legislatif. Di bawah kekhalifahan seperti inilah kesatuan dan kemajuan
umat dapat tercapai.
Penulis kurang sependapat dengan ide Rasyid
Ridha, yang menganjurkan negara dalam bentuk kekhalifahan. Karena administrasi,
sistem kekhalifahan itu memancing instabilitas dan perebutan kekuasaan, karena
secara langsung menutup kreativitas dan aspirasi rakyat.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Jadi
dapat disimpulkan, bahwa ide pemikiran dan pembaharuan Rasyid Ridha sangat
dibutuhkan. Karena mempunyai kontribusi yang sanggat tinggi untuk kemajuan umat
Islam. Diantaranya:
·
Dibidang
pendidikan Rasyid Ridha sangat menginginkan adanya perpaduan antara pendidikan
Agama dengan pendidikan Umum, untuk membentuk generasi yang tidak hanya
mempunyai ilmu dan wawasan yang luas tetapi juga mempunyai akhlak dan pribadi
yang mencerminkan seorang pemimpin yang bersih. Dan
memusatkan perhatian pada reformasi intelektual Islam, pembaharuan ilmu
syari’at dan bahasa Arab serta membangkitkan lembaga-lembaga yang membentuk
pemikiran umat Islam.
Dibidang agama, Rasyid Ridha
menginginkan umat Islam menggali kembali teks al-Qur’an dan Hadis. dengan cara:
1. Mempertahankan syari’at Islam
beserta ilmu-ilmunya.
2. Menyebarluaskan fatwa-fatwa
kontemporer dan menetapkan al-Qur’an antara fiqih kontemporer dan fiqih ahkam.
3. Memberikan penerangan kepada umat
tentang perbedaan antara agama dan tradisi yang ada di masyarakat.
Dibidang politik, Rasyid Ridha
memberikan pemahaman tentang persatuan umat. Serta memandang politik dengan
pandangan universalitas Islam.
4.2 Rekomendasi.
Ide
pemikiran dan pembaharuan Rasyid Ridha dalam dunia pendidikan sangat
berkontribusi. Karena pendidikan tidak bisa dipisahkan dari agama. Jadi
sewajarnyalah kita dalam dunia pendidikan tidak hanya menggali ilmu saja akan
tetapi juga mempunyai nilai-nilai keIslaman didalam mempelajari ilmu tersebut.
Dibidang agama, dengan terbukanya cakrawala berfikir
diharapkan generasi Islam mampu menghasilkan metode-metode yang baru dalam
penafsiran al-Qur’an dan mampu memberi penerangan kepada masyarakat tentang
perbedaan agama dengan tradisi sehingga masyarakat tidak taklik dan masyarakat
mampu membersihkan aqidahnya dari perbuatan syirik, syubhat, bid’ah dan
khurafat.
Dibidang
politik, hendaknya umat Islam yang ada didunia harus bersatu untuk menegakkan
negara berdasarkan syari’at Islam tanpa memandang perbedaan suku bangsa dan
ras. Dan hendaklah yang menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki ilmu dan
wawasan yang luas serta memiliki pribadi yang mulia.
[1] Lihat, Kurnial
Ilahi, “Perkembangan Modern dalam Islam”, (Riau: Lembaga Penelitian dan
Perkembangan Fakultas Usuluddin UIN SUSKA dan Yayasan Pusaka Riau, 2002), h.
55.
[2] Lihat, Imarah
Muhammad,“Mencari Format Peradaban Islam”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005). h. 1. Sayid Muhammad Rasyid Ridha lahir pada tahun 1865 M. Di
al-Qalamun suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli
(Syria). Ia berasal dari keturunan al-Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, oleh
karena itu ia memakai gelar “Sayid” di depan namanya. Ayahnya seorang ulama dan
penganut Tariqad Syazilliah, karena itu Rasyid Ridha pada waktu kecilnya selalu
mengenakan jubah dan sorban, tekun dalam pengajian dan wirid sebagai mana
kebiasaan pengikut Tariqad Syazilliah. Lihat,Yusran Asmuni, “Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam dunia Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 82.
[4] Pendidikan
dasarnya diperoleh pada Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah di Tripoli-Syam
dan selanjutnya pindah ke Beirut hingga meraih gelar al-‘Alimiyyah.
Kecenderungan awalnya kepada ilmu hadits/ riwayat beralih ketika ia membaca
kitab Ihy, ‘Ulumiddin karangan Imam al-Ghazali. Sejak itu, ia mulai
tenggelam dalam dunia tasawuf dan hidup zuhud serta menjadi pengikut
Tarekat Naqsyabandiyah. Lihat, Mohammad, Herry, “Tokoh-tokoh
Islam yang Berpengaruh Abad 20”, (Jakarta: Gema Insani, Press, 2006), h.
312-313.
[10] Rasyid Ridha
pun menyetujui perjanjian yang mulia tersebut dan menyatakan kesiapannya
untukmembantu dengan segenap usahanya. Ia berjanji pada gurunya dengan berkata,
“Aku akan berjanji untuk menjadi layaknya seorang murid kepada gurunya. Akan
tetapi, aku tetap menjaga sesuatu yang berbeda dari kalian, yaitu aku akan
bertanya tentang rahasia sesuatu yang tidak aku mengerti, dan aku tidak
menerima sesuatu yang tidak aku pahami serta aku tidak pula mengerjakan sesuatu
kecuali aku yakini manfaatnya.” Kemudian sang guru berkata “Dan itu adalah
sesuatu yang sepantasnya kamu lakukan!” Lihat, Imarah Muhammad, “Mencari
Format Peradaban Islam”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.
7.
Membawa misi pembaharuan agama ke seluruh
kawasan umat Islam.
Menyarankan untuk memilih Islam yang moderat
untuk membangkitkan Islam dan ketimuran sebagai jalan untuk menolak kejumudan
yang mengikat orang-orang salaf dan mengikuti pola kemajuan peradaban Barat.
Mengembalikan pendapat-pendapat yang ada di al-Urwah
al-Wutsqa, dan pendapat-pendapat Muhammad Abduh yang telah disebarluaskan
melalui al-Waqa’i al-Mashriyah.
Membersihkan akidah dari syirik, syubhat,
bid’ah dan khurafat.
Menyebarluaskan metode-metode yang baru dalam
penafsiran al-Qur’an.
Mempertahankan syariat Islam beserta
ilmu-ilmunya dan bahasa Arab beserta cabang-cabangnya.
Menyebarluaskan fatwa-fatwa kontemporer, dan
menetapkan al-Qur’an antara fiqih kontemporer dan fiqih ahkam.
Memberikan penerangan kepada umat tentang
perbedaan antara agama tuhan dan tradisi yang ada di masyarakat.
Memberikan pemahaman tentang persatuan umat,
serta globalisasi Islam yang merupakan ciri khas dari masyarakat Timur dengan
perbedaan suku bangsa dan ras.
Pengukuhan tentang pembentukan negara Islam
yang global pada suatu masa yaitu Daulah Utsmaniyah dengan seruan untuk
memperbaiki seluruh kebobrokannya.
Peringatan untuk tidak mengikuti peradaban
Barat beserta ajakan untuk mempelajari ilmu-ilmu Barat, dan keahlian mereka
dalam kemajuan.
Seruan untuk memperbaiki ekonomi masyarakat
Muslim dari monopoli Barat sehingga menciptakan ekonomi yang bebas sebagai
penopang kemerdekaan peradaban dan politik.
Memerangi kristenisasi dan menolak pelakunya
serta ajakan-ajakan mereka di seluruh wilayah umat Islam dan mempersenjatai
umat Islam dalam memerangi tipu daya tersebut.
Ajakan untuk mendirikan universitas-universitas
serta organisasi (kemasyarakatan, keilmuan, dan sosial) untuk menjadikan kerja
keras umat dalam pembaharuan yang lebih mapan dan konsekuen.
Pemapanan metode bertahap dalam pembaharuan,
karena pembentukan manusia adalah pembentukan nilai-nilai Islam, guna menjaring
para pemikir serta ulama yang bersih. Selain itu, untuk memasukkan modernisasi
dalam Islam diperlukan tahapan-tahapan.
Demokrasi politik khususnya masalah hukum dan
negara kepada rakyat, memusatkan perhatian pada reformasi intelektual Islam,
pembaruan ilmu syariat dan bahasa Arab. Membangkitkan lembaga-lembaga yang
membentuk pemikiran umat, serta memandang politik dengan pandangan
universalitas Islam. Lihat, Ibid, h. 8-10.
[14] Untuk itu ia
melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata pelajaran berikut: teologi,
pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu
kesehatan, bahasa-bahasa asing, dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan
keluarga) yaitu di samping fiqih, tafsir, hadis, dan lain-lain yang biasa
diberikan di madrasah-madrasah tradisional. Lihat, Harun Nasution, “Pembaharuan
dalam Islam”, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), h. 71.
[15] Kelihatannya
Rasyid mengikuti jalan pikiran Tahtawi dalam menerima peradaban Barat.
Menurutnya, orang Islam hanya mengambil kembali apa yang pernah menjadi
miliknya. Orang-orang Eropa hanya mengembangkan peradaban itu setelah mereka
memperolehnya melalui Spanyol. Lihat, Kurnia Ilahi, h.
64.
[16] Lihat, A.
Munir, Sudarsono, “Aliran Modern Dalam Islam”, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994), h. 163.
[17] Jadi, menurut
Rasyid, umat Islam akan maju apabila meninggalkan segala khurafat dan bid’ah
yang selama ini membelenggunya. Rasyid Ridha juga menyoroti faham
fatalisme/jabariyah yang menyelimuti umat Islam waktu itu. Rasyid berpendapat
bahwa umat Islam telah kehilangan etos jihad. Jihad dalam Islam pengertian
usaha dinamis merupakan ajaran Islam. Umat Islam harus bersikap aktif, berusaha
keras dan berkorban harta dan jiwa raga demi tercapainya cita-cita perjuangan.
Umat Islam dapat memperolehnya dari ajaran Islam itu sendiri. Lihat, Kurnial
Ilahi, h. 60.
[18] Proyek
progresivitas keislaman yang dipersenjatai dengan reformasi agama ini memerangi
dua sisi utama:
a.
Pemikiran klasik mengenai
kejumudan mazhab, seperti yang terjadi pada para pelindung tradisi buku-buku
kodifikasi mazhab, baik itu sunni, syiah zaidiyah, syiah imamiyah dan
ibadhiyah. Alasan mereka, bahwa baik secara global atau
terperinci diskursus keislaman yang merupakan pusaka al-Qur’an dan Sunnah sudah
tercakup di dalamnya. Mereka yang tak menganut salah satunya dianggap tidak
berada dalam agama Islam.
b.
Sisi tradisi
terhadap peradaban Barat (West civilization), para penyeru menuju
metamorposa agama, yaitu pendakwah peradaban modern, peraturan sipil, dan
undang-undang. Mereka berpendapat bahwa syariat yang terkodifikasi itu sudah
usang dan tak sesuai dengan kebutuhan pemerintah dan masyarakat umum maka harus
ditinggalkan dan diganti dengan undang-undang Eropa, atau
alternatifnya, memerdekakan setiap komunitas untuk membuat peraturan sendiri
yang relevan bagi mereka. Jika tidak, lambat laun mereka akan hancur. Lihat,
Imarah Muhammad, Op. Cit, h. 65-66.
[19] Ridha yakin
bahwa pemerintahan Islam yang sejati akan merupakan yang terbaik, bukan saja
bagi umat Islam tetapi juga bagi golongan-golongan minoritas non-Muslim. Dia
menjelaskan bahwa suatu negara Islam akan berdasarkan pada keadilan, pada hukum
yang memberi hak-hak dan kebebasan kepada orang-orang Kristen dan orang-orang
Yahudi, sedangkan negara sekuler, sebagaimana yang diketahuinya, berdasarkan
solidaritas nasional semata-mata dan bukan sistem moral. Keadilan menciptakan
suatu hubungan, sementara solidaritas memecah-belah. Lihat, Anggota IKAPI,
“Diterjemahkan dari buku berbahasa Inggris, Faith and Power: The Politics of
Islam, karangan Edward Mortimer”, (Bandung: Mizan, 1984), h. 230.
[20] Kesatuan Islam
pada hakikatnya adalah kesepakatan hati di antara mereka yang satu sama lain
saling menerima toleransi dan kerja sama aktif semuanya dalam menjalankan
peintah-perintah agama. Lihat, Albert Hourani, “Pemikiran Liberal di Dunia
Arab”, (Bandung: Mizan, 2001), h. 367.
[21] Tipe
patriotisme yang harus dimiliki oleh pemuda muslim ialah bahwa ia harus menjadi
teladan yang baik bagi rakyat negaranya, apa pun agama mereka, yang bekerjasama
dalam segala kegiatan yang sah demi mempertahankan kemerdekaan, mengembangkan
ilmu pengetahuan, kebaikan, kekuatan dan sumber-sumber sejalan dengan hukum
Islam yang mengutamakan hubungan erat antara hak-hak dan
kewajiban-kewajiban.Tetapi dalam pembelaan terhadap tanah air dan bangsanya
itu, ia tidak boleh melalaikan Islamnya. Lihat, Esposito, John L. III. Husein,
Makhnun, “Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah”, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 94.
[22] Fungsi
khalifah menurut Rasyid adalah menyebarkan kebenaran, menegakan keadilan,
memelihara agama dari musuh dan bermusyawarah terhadap masalah yang tidak ada
nasnya. Khalifah bertanggung jawab atas segala perbuatannya, dan ahl al-Hall
wa al-Aqd mengawasinya. Ahl al-Hall wa al-Aqd , selain
mengawasi jalannya roda pemerintahan, menurut Rasyid Ridha juga harus
mencegah penyelewengan yang dilakukan khalifah. Lebih jauh lagi, mereka harus
mengadakan perlawanan terhadap kezaliman dan ketidak adilan khalifah, dan kalau
kepentingan umat dibahayakan, mereka dapat mengakhiri kekuasaannya dengan
perang atau kekerasan. Satu lagi yang dianggap maju dalam ide Rasyid Ridha
tentang ahl al-Hall wa al-Aqd ini adalah tidak terbatasnya anggota ahl
al-Hall wa al-Aqd , bagi ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid
saja, tetapi juga dari pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang. Akan
tetapi, ada sesuatu yang tidak jelas dalam konsep ahl al-Hall wa
al-Aqd Rasyid ini. Rasyid tidak menjelaskan tentang cara pengangkatannya.
Lihat, Kurnia Ilahi, h. 62.
[24] Bukti yang
menyatakan bahwa umat Islam Indonesia mengenal ide-ide pembaharuan Rasyid Ridha
melalui al-Manar adalah munculnya pertanyaan seorang ulama Indonesia terhadap
Rasyid Ridha melalui al-Manar, mengenai patriotisme, nasionalisme dan semangat
persatuan dalam Islam. Lihat, Kurnial Ilahi, h. 66.
[25] Rasyid Ridha
sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan, dan selalu pula berjuang
selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil Ula
1354/ 22 Agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang al-Qur’an
di tangannya. Lihat, Asmuni, “Dirasah Islamiah III: Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam dunia Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 88.
[26] Rasyid Ridha
wafat setelah mengantarkan Raja Saudi Arabia, Abdul Aziz ibn Sa’ud di Terusan
Suez. Lihat, Ali Mufrodi, “Islam di Kawasan Kebudayaan Arab”, (Jakarta:
Logos, 1997), h. 164.
Comments
Post a Comment